Betapa terkejutnya aku sore itu,
sepulang dari bekerja aku telah dibuat kesal oleh anak semata wayangku, Ira..
Bagaimana tidak, piring-piring yang telah pecah berserakan. Belum lagi nasi
didalam panci yang tumpah, berceceran kemana-mana.
anakku
“Ya ampun, Ira! Apa yang telah kau perbuat??” bentakku padanya. Ia hanya diam saja, terkejut. Dan sedikit demi sedikit bulir-bulir kecil menetes dari matanya yang mungil.
“Ya ampun, Ira! Apa yang telah kau perbuat??” bentakku padanya. Ia hanya diam saja, terkejut. Dan sedikit demi sedikit bulir-bulir kecil menetes dari matanya yang mungil.
Sudah sering sekali anakku yang
berumur tujuh tahun itu membuatku kesal. Dari piring yang selalu dipecahkannya,
pakaian dalam lemari yang diobrak abrik, dan sampah berupa kertas yang selalu
berserakan takkala aku pulang kerumah sehabis bekerja. Jika sudah terlanjur
kesal seperti itu, maka tanpa panjang lebar lagi kutarik Ia lalu kupukuli
tangan dan pantatnya. Sedangkan Ia hanya merengek dan mengerang, tanpa
berteriak minta tolong. Bukan karena Ia tak mau minta tolong, tapi karena
anakku itu memang tak bisa berbicara.
*********
Ibu dan ayahku terhenyak ketika
mengetahui aku telah hamil tiga bulan diluar nikah. Aku telah dihamili oleh
kekasihku sendiri, tapi bukannya Ia bertanggung jawab malah pergi
meninggalkanku tanpa rasa belas kasihan sama sekali. Ibu dan Ayah lama-lama tak
tahan menanggung aib keluarga yang telah ku bawa kerumah. Akhirnya mereka tak
mau lagi menganggapku anak lagi. Mereka lantas mengusirku dari rumah. Hatiku
sangat perih kala itu. Ku kutuk-kutuk anak haram yang saat itu tengah ku
kandung. Dari situlah semua kebencianku berasal.
Paska pengusiranku dari rumah,
akupun tinggal di sebuah kos kecil yang biaya pembayarannya ku dapatkan dari
hasil upah mencuci baju. Dan selama masa kehamilanku, seringkali aku berusaha
menggugurkan kandunganku itu. Aku tak mau anak haram ini lahir kedunia.Berbagai
cara ku lakukan, dari minum obat-obatan sampai terkadang aku memukul-mukul
perutku sendiri. Perlu diketahui, para tetanggaku tak ada yang tau kalau aku
mengandung anak diluar nikah. Karena aku katakana kepada mereka bahwa ayahnya
mati takkala usia kehamilanku berumur tiga bulan. Sekuat apapun aku mencoba
menggugurkan kandunganku, ternyata Tuhan punya rencana lain. Anak ini tetap
lahir kedunia. Tetapi keadaannya sungguh diluar dugaanku, kaki kanannya lebih
pendek dibandingkan kaki kirinya. Ternyata anakku terlahir dalam keadaan cacat.
Aku malu mempunyai anak haram yang
cacat. Walaupun para tetanggaku tak ada yang tau, tetap saja aku merasa jijik
dengan anak itu. Namun, aku terpaksa tetap membesarkannya dengan susah payah.
Perkembangan anakku terasa normal-normal saja hingga suatu saat ku ketahui ada
satu hal yang terasa ganjil. Selain kaki kanannya yang tumbuh secara tidak
normal, ternyata saat anak-anak seusianya telah lancar berbicara anakku bahkan
tak bias menyebutkan satu katapun. Sejak saat itu aku tau, ternyata selain
cacat anakku juga bisu. Entahlah, terkadang ada sebuah penyesalan karena telah
melahirkannya. Lebih baik kubunuh saja Ia setelah ku melahirkannya.
Saat umurnya menginjak enam tahun.
Ira kumasukkan ke salah satu sekolah dasar di kota ini. Walaupun prestasinya
tidak terlalu buruk disekolah tapi aku tetap tak bisa menerimanya sebagai
anakku. Mungkin aku terlalu trauma dan benci dengan masa laluku. Bagaimana
tidak, karena anak haram inilah aku di usir dari rumah, karena anak cacat
inilah hidupku menderita seperti ini. Hingga aku harus banting tulang hanya
untuk menghidupi seorang anak yang cacat dan bisu. Bahkan aku terlalu malu
untuk datang ke sekolahnya setiap ada pertemuan antara guru dan orang tua.
Seperti biasa,pada jam empat sore
aku pulang dari rutinitas pekerjaanku. Berharap sesampai dirumah bisa menemukan
ketenangan, tapi aku tak percaya dengan apa yang kulihat. Kamar mandi telah
digenangi oleh air yang berasal dari keran yang mungkin lupa ditutup oleh Ira.
“Ira. Apa-apaan ini?” Aku berteriak
sekeras mungkin. Lalu ku cari Ia didalam kamar, ternyata kamar kosong. Ku cari
Ia dibelakang rumah, tetap nihil.
“Ira. Dimana kamu?!?!” Aku
berteriak lebih kencang lagi, tapi tak kunjung Ia menampakkan diri. Akhirnya
aku memutuskan untuk mencari kerumah tetangga. Dan ternyata benar, Ia sedang
bermain disana. Tanpa panjang lebar lagi, ku tarik tangannya dengan paksa. Aku
tak peduli lagi dengan tatapan mata para tetangga. Kesabaranku benar-benar
habis kali ini. Sesampai dirumah, kupukul ia, puas memukul langsung kumasukkan
dirinya kedalam kamar mandi yang tentu saja masih tergenang air. Anakku itu
mencoba berontak, tapi tenaganya yang kecil itu tak seberapa menghadapi iblis
yang telah merasuk dipikiranku. Kulihat Ia hanya merengek dan meronta.
Seandainya Ia bisa bebicara, mungkin saja Ia akan berteriak minta tolong atau
bahkan mengumpat dan mengutuk-ngutuk aku yang kejam ini.
Setelah puas melampiaskan
kemarahanku padanya. Akupun terkulai ditempat tidurku, entah capek karena habis
marah atau memang capek karena baru saja pulang bekerja akupun tertidur.
Sekitar pukul enam tiga puluh aku baru terbangun.
“Ya ampun. Aku belum sempat
beres-beres.” Segera aku beranjak dari tempat tidur dan mulai berberes-beres.
Baru kali inilahrumahku yang tampak paling berantakan. Dapur kotor,diruang tamu
berhamburan banyak sekali kertas yang berasal dari buku tulis anakku yang
dengan susah payah aku beli, tapi dengan mudahnya Ia mencoret-coret lalu
membuangnya begitu saja. Kupunguti kertas itu satu persatu sambil bibirku
menggerutu berkepanjangan. Tapi timbul rasa penasaranku akan apa yang
dicoretkan oleh anakku di kertas-kertas itu. Akupun lalu membuka salah satu
dari kertas yang kupungut. Dan aku tak percaya dengan yang ku lihat dan kubaca.
Sebuah tulisan acak-acakkan dari seorang anak sekolah dasar yang cacat dan
bisu.
Bunda,Ira minta maaf kalau selama
ini Ira nakal
Ira juga minta maaf,udah buat bunda kecewa dengan keadaan Ira
Tapi bunda,tolong jangan pukuli Ira,Ira janji nggak akan nakal dan akan nurut sama bunda
Bunda,Ira ingin sekali berbicara pada bunda
Tapi setiap bibir Ira mau Ira buka, rasanya seluruh kepala Ira jadi sakit
Bunda, jika Tuhan mengizinkan Ira dapat berbicara
Ira ingin sekali mengatakan pada bunda
Betapa Ira sangat sayang pada bunda
Ira juga minta maaf,udah buat bunda kecewa dengan keadaan Ira
Tapi bunda,tolong jangan pukuli Ira,Ira janji nggak akan nakal dan akan nurut sama bunda
Bunda,Ira ingin sekali berbicara pada bunda
Tapi setiap bibir Ira mau Ira buka, rasanya seluruh kepala Ira jadi sakit
Bunda, jika Tuhan mengizinkan Ira dapat berbicara
Ira ingin sekali mengatakan pada bunda
Betapa Ira sangat sayang pada bunda
Tiba-tiba seperti ada sekat yang
mencekat di kerongkonganku setelah membaca tulisan itu. Rasanya seperti ada
benalu berduri yang menjalari hati. Entahlah, sungai air mata pun tak
terbendung menjadikannya sebuah air terjun yang membasahi pipi.
“Ira, dimana Ira?” Aku tersadar dan
segera mencarinya. Aku baru teringat, beberapa jam yang lalu aku mengurungnya
di dalam kamar mandi.
“Ira!!!” Aku menjerit, hingga
tetangga berhamburan, kaget menghampiri rumahku. Aku terkulai lemas dikamar
mandi melihat anak semata wayangku tak sadarkan diri. Wajahnya begitu pucat,
tubuhnya pun sangat dingin. Kini aku baru menyadari, bahwa perbuatanku
kepadanya sangatlah keji. Ku sadar, semua yang terjadi ini tak ada hubunganya
dengan Ira, apalagi sampai menyalahkannya. Dan ada satu hal yang kini aku
percayai. Mungkin Ia memang cacat, mungkin Ia memang bisu. Tapi aku percaya, Ia
mampu untuk berbicara. Berbicara dengan hatinya. Bukan hanya satu kata,
melainkan beribu kata.
Sesampainya dirumah sakit, Ira
langsung di bawa ke ruang unit gawat darurat. Aku menunggu di luar. Detik demi
detik berlalu menjadi menit, menitpun berlari menuju jam. Hingga akhirnya pintu
ruangan itu terbuka, seorang dokter keluar.
“Bagaimana dok keadaan anak
saya,Ira baik-baik saja kan?” Aku memburu pertanyaan kepada sang dokter, air
mata terus membanjiri kedua pipiku. Tapi sang dokter tetap diam.
“Dok, apa yang terjadi?Tolong jawab
dok!” ku getar-getarkan bahu sang dokter, berharap sang dokter memberikan
jawaban yang mampu menenangkan kegelisahanku. Sang dokter hanya mendesah dan
menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku lemas tak berdaya. Air mata semakin tumpah
membanjiri pipi.
“Maafkan bunda,Ira.” lalu semua
tampak gelap bagiku.
**********
Aku terbangun dari tidurku, namun
ketika membuka mata aku sadar aku tak berada di dalam kamarku. Ini hanya sebuah
ruangan kecil dengan pintu berterali. Entah, sudah berapa tahun aku menginap
disini. Aku sudah tak bisa lagi mengingat tanggal, bulan, apalagi tahun. Yang
ku tau, waktu itu terasa sangat lama. Seoran wanita berpakaian seperti seorang
suster atau perawat lalu membuka terali yang mengurungku dan menarikku keluar
dari ruangan itu. Kulihat banyak sekali orang-orang yang berperilaku aneh
disini. Ada yang bergoyang-goyang sendiri, ada yang diam bagai patung, dan ada
yang berteriak-teriak tak jelas. Dan aku sadar, kini akupun menjadi salah satu
bagian dari mereka.